Revoluzine Blogger

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Maulydia Taysa Novella

Maulydia Taysa Novella

Mengenai Saya

Maulydia Tasya Novella lahir pada 1994, di kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. saya dibesarkan oleh kedua orang tua, ibunda saya Helmy Hartati yang merupakan seorang perawat di Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh. Ayahanda saya Mahfuz, seorang wiraswasta. mereka adalah pahlawan yang sangat berjasa. saya adalah satu dari sekian banyak blogger Indonesia yang menggunakan blog sebagai wahana pembelajaran online dan memberikan beberapa materi yang terdapat di blog saya untuk dapat digunakan oleh orang lain dengan segala manfaatnya. Maulydia Tasya Novella merupakan seorang siswi MIN Banda Aceh yang meneruskan pendidikannya ke MTsN Banda Aceh dan sekarang di SMA Fatih Tengku Nyak Arief Banda Aceh.. insya Allah saya akan meneruskan pendidikan saya ke Fakultas Kedokteran UGM. amin.

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Entri Populer

Filsafat Sebagai Pengantar Kehidupan

Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Kiranya pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?
A. Sebagai Kegiatan Ilmu dan Seni

Masalah mikro yang menjadi focus disini ialah dasar dan landasan ilmu yaitu manusia atau sekelompok kecil manusia dalam fenomena.

Praktek Memerlukan teori

Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan karena dalam praktek harus dipertanggung-jawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik. Bahkan berlaku yang baik sebagai bagian dari hidup manusia selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia adalah makhluk yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.

Dalam sejarah Bangsa kita telah menyaksikan implementasi idiologi negara gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Bagaimana usaha pemborosan nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir denan nilai gagal menyatukan bangsa, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya.

Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. karena Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius. Ini berarti bahwa semua tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbutan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek tanpa suatu teori yang baik.

Landasan Sosial dan Individual

Hal ini sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro bagi individu dan kelompok kecil beralangsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Dalam skala mikro ini diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro hal ini merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku ; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).

Pada skala makro dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan kegiatan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya dalam hal ini dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini kegiatan kerap meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian. Maka dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.

Teori Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni

Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya dalam praktek perlunya fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia, jadi tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi seperti atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).

Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya secara orang perorang (personal). Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena maka dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup nilai komunikasi yang universal. Jika ditelaah maka konsep komunikasi memerlukan ilmu dan seni artinya proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia sebagai warga masyarakat yang lebih berbudaya.
B. Dasar-dasar Ilmu

Uraian diatas mengisyaratkan bahwa praktek sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulah segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nlai dan norma.

Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena

Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic (dasar didikan) dan data andragogi (lanjutan didikan). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data factual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu yang ada dalam kehidupan ini tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.

Sebaliknya ilmu khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menysusun teori dan konsep yang praktis serta positif, oleh karena itu tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah makro) bukanlah filsafat yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat sebagai manusia seutuhnya. Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup : Relasi sesama manusia (person to person relationship) dan Pentingnya metode fenomenologi secara kualitatif.

Itulah lingkup yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni dalam arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Oleh karena itu selain pedagogic praktis yang menelaah ragam diberbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal diperlukn lingkupnnya sehingga meliputi : Konteks sosial budaya (socio cultural contexs) ; Filsafat Sejarah (preskriptif) dan Sejarah Filsafat (deskriptif) ; Teori dan pengembangan berbagai hal empirik tentang sebuah fenomena ; Berbagai aplikatif (terapan) khususnya mengenai specific content pedagogy.

Telaah ilmiah dan kontribusi ilmu bantu

Bidang masalah yang ditelaah sebagai ilmu ialah sekitar manuasia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam sebuah fenomena. Yang menjadi inti ilmu teoritis ialah Pedagogik sebagai wilayah aplikatif. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematic dan pembahasannya. Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam sebuah fenomena, pedagogic merupakan satu-satunya bidang yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi.

Pendekatan fenomenologi dalam menelaah

Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasrkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis aatas fenomen yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative, karena Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu siti dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama.

Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan cirri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang factual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan.

Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogic

Ilmu khusus pedagogic dan androgogi tidak menggunakn metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbtas pada pemahaman atas perubahan perilaku manusia. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental diterapakan dan itupun manfaatnya terbatas sekali. Jadi kurang bermanfaat apabila dalam suatu kegiatan mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan secara kuntitatif. Sebaliknya pedagogic dan androgogi harus menjadi ranah otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif, Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu-ilmu sosial dll.
C. Dasar-dasar Filsafat Ilmu

Dasar ontologis ilmu

Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari suatu ilmu. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materilnya ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapakan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya suatu kegiatan yang berskala mikro.

Dasar epistemologis ilmu

Dasar epistemologis sangat diperlukan demi mengembangkan ilmu secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan secara sederhana namun telaah atas objek formil memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin suatu empirik dengan wilayah kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelah dan pengumpulan data tidak tertuju hanya pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan (wisdom) tentang suatu fenomena tersebut, maka validitas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan dalam menjelaskaan objek formaalnya, jadi tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telah teori.

Dasar aksiologis ilmu

Kemanfaatan teori ini tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmunya tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif.

Dasar antropologis ilmu

Wilayah ini intinya ialah pertemuan antara manusia satu sebagai subjek dan manusia lainnyua sebagai subjek pula, dimana terjadi komunikasi kepada pihak yang belakangan dalam upaya mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya sosialitas dan individualitas, melainkan juga moralitas, serta tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas.

Landasan filsafat memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan kacamata yang dikenakan dalam memandang menyikapi sebagai bagian isi dunia. Oleh karena itu harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka yang bersifat konseptual. Dengan demikian maka landasan filsafat harus tercermin didalam semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas-tugas, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan yang dimaksud harus bersifat arif dan bijaksana.

Sumber : http://www.harypr.com/

Facebook Twitter RSS