Revoluzine Blogger

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Maulydia Taysa Novella

Maulydia Taysa Novella

Mengenai Saya

Maulydia Tasya Novella lahir pada 1994, di kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. saya dibesarkan oleh kedua orang tua, ibunda saya Helmy Hartati yang merupakan seorang perawat di Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh. Ayahanda saya Mahfuz, seorang wiraswasta. mereka adalah pahlawan yang sangat berjasa. saya adalah satu dari sekian banyak blogger Indonesia yang menggunakan blog sebagai wahana pembelajaran online dan memberikan beberapa materi yang terdapat di blog saya untuk dapat digunakan oleh orang lain dengan segala manfaatnya. Maulydia Tasya Novella merupakan seorang siswi MIN Banda Aceh yang meneruskan pendidikannya ke MTsN Banda Aceh dan sekarang di SMA Fatih Tengku Nyak Arief Banda Aceh.. insya Allah saya akan meneruskan pendidikan saya ke Fakultas Kedokteran UGM. amin.

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Entri Populer

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hukum Dan Hak Asasi Manusia

Pada bulan Agustus 2002, Konstitusi kita telah mengalami Amandemen yang keempat. Proses amandemen atau perubahan ini sendiri telah menunjukkan adanya suatu pergeseran dalam pemikiran mengenai Undang-Undang Dasar 1945, karena pada masa-masa sebelumnya, perubahan konstitusi ini seakan dianggap tabu untuk dilakukan. Terlepas dari perbedaan pendapat apakah yang dilakukan memang suatu perubahan belaka ataukah sudah merupakan suatu penggantian konstitusi, sangat nyata bahwa keempat amandemen yang dilakukan sama sekali tidak berkehendak untuk menyentuh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. sebagai konsekuensi logis, maka esensi yang dimuat dalam bagian tersebut masih tetap intact, termasuk mengenai Pancasila.

Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi bangsa, memang banyak sekali mendapat sorotan dari para penulis dari berbagai disiplin ilmu, yang mencoba mengkajinya dari perspektif masing-masing. Namun pada dasarnya semua menyadari bahwa Pancasila memuat sejumlah nilai dasar yang tidak dapat dipisahkan dari cita rakyat Indonesia, yang bahkan sebagian orang menilainya sebagai suatu impian yang ingin dicapai rakyat Indonesia pada suatu kelak. Elemen-elemen mendasar yang dicantumkan dalam Pancasila memang bukanlah sesuatu yang dengan sederhana dan segera dapat diwujudkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, karena memerlukan pemahaman dan komitmen yang sungguh-sungguh dari para pembuat keputusan. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa rakyat banyak tidak dapat menentukan jalannya negara, akan tetapi bahwasannya pembuat keputusan akan mempunyai the last say, sungguh merupakan suatu realita belaka, tanpa melebihkan atau menguranginya.

Sulit diingkari bahwa salah satu hal yang saat ini sedang menjadi salah satu isu yang paling ramai dibicarakan masyarakat Indonesia adalah penegakan supremasi hukum yang berkeadilan dan penegakan Hak Asasi Manusia. Betapa tidak, HAM merupakan seperangkat hak dasar yang secara kodrati melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, sehingga pada dasarnya semua kehidupan manusia tidak lepas dari nuansa HAM, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Universal tentang HAM yang mengawali tulisan ini. Tidak mengherankan apabila dalam perumusan UUD 1945 oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia juga telah diinkorporasikan materi yang berkenaan dengan HAM. Dengan demikian HAM telah merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh hukum. Sebelum beranjak lebih jauh ke dalam pembicaraan mengenai Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan hukum dan Hak Asasi Manusia; terlebih dahulu akan diuraikan dalam segenggam mengenai kondisi yang ada di Indonesia saat ini berkenaan dengan kedua kata kunci tersebut.
Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Hukum kala ini tengah berada di titik nadir, mudah diduga adapula yang terjadi dengan HAM yang belum sepenuhnya dipahami baik oleh pembuat kebijakan maupun publik. Berbagai contoh peristiwa demi peristiwa yang dialami bangsa Indoensia nampaknya cukup sudah untuk mendukung pernyataan tersebut. Upaya-upaya penyelesaian berbagai krisis yang melanda, yang pada akhirnya membuat kondisi rakyat kecil terutama makin terpuruk, sampai masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan, baik melalui hukum maupun upaya lainnya. Terlunta-lunta berbagai kasus pelanggaran hukum, baik yang menyangkut pelanggaran berat terhadap HAM maupun kasus korupsi, makin membuat tenggelamnya hukum sebagai salah satu sarana pengendalian sosial. Bahkan, diberlakukannya keadaan darurat sipil di Maluku misalnya, ternyata belum menghasilkan perubahan yang diinginkan, demikian dilaporkan oleh media massa, malahan pelanggaran HAM masih terus terjadi. Betapa tidak, upaya ini harus sanggup untuk mengatasi bukan saja the tip of the iceberg of the situation, akan tetapi seluruh gunung es yang telah dibangun selama beberapa dekade terakhir ini. Situasi yang mengiringi suksesi pemimpin negara, the aftermath yang mengiringinya, memang telah menunjukkan adanya suatu pergeseran dalam berbagai tatanan pranata masyarakat. Pertanyaannya adalah : ke arah mana pergeseran ini terjadi?

Tidaklah berlebihan apabila dinyatakan bahwa situasi Indonesia pada dua tahun terakhir ini, khususnya yang berkenaan dengan kematian dan cederanya korban-korban tindak kekerasan bersenjata berbagai wilayah Indonesia, sungguh menimbulkan duka cita yang amat sangat. Layaknya disimak adanya banyak orang yang menganalogikan kondisi semacam ini dengan perang saudara yang terjadi di negara-negara lain. HAM seakan sekedar angin lalu yang tidak layak menjadi perhatian warga maupun pemegang kekuasaan. Berjatuhannya korban dari berbagi pihak, termasuk dari anggota masyarakat yang sekedar menjadi penonton menjadi headlines bukan hanya di dalam negeri, tapi juga luar negeri. Kecaman-kecaman pun berdatangan dari seluruh penjuru tanah air dan benua, disertai dengan pernyataan keprihatinan yang mendalam. Sulitlah untuk mengingkari bahwasannya peristiwa-peristiwa ini menunjukkan betapa kritisnya integrasi bangsa, betapa rapuhnya sendi-sendi kenegaraan yang selama ini ditopang dengan berbagai perangkat politik, sosial dan hukum. Belum lagi adanya sekelompok orang yang dapat dikategorikan sebagai kaum oportunis, yang berprilaku berdasar aji mumpung, pokok cari slamet.

Kondisi yang tengah kita alami pada masa transisi ini, sulit diingkari, merupakan kulmunasi dari ketidak percayaan rakyat pada pranata sosial yang ada, terutama pranata hukum (baik yang berkenaan dengan proses pembentukan, penegakan maupun penegaknya sendiri) yang selama ini banyak nampak hanya sampai pada taraf akumulasi belaka, yang belum mencerminkan adanya keadilan. Berbagai eksplosi yang terjadi secara sporadis maupun tidakm bahkan yang juga telah membangkitkan gerakan sentrifugal, merupakan ancaman bagi seluruh bangsa, yang akar permasalahannya tidak jauh dari hukum dan keadilan. Sudah teramat jelas, apalagi dengan desakan berbagai lembaga di tingkat nasional maupun internasional, bahwasannya tidak berfungsinya hukum dengan baik merupakan suatu fakta yang pahit, tak dapat diingkari dan sangat memprihatinkan. Sebelum terjadinya krisis moneter saja sudah cukup banyak reaksi terhadap hukum dan penegakannya. Masyarakat masih dalam keadaan menunggu, apa kiranya yang akan dilakukan penyelenggara negara sekarang ini mengenai berbagai masalah yang dihadapi, khususnya di bidang hukum dan HAM? Sejumlah masalah yang layak dicatat terjadi berkenaan dengan bidang hukum dan HAM antara lain termasuk :

§ Sistem peradilan yang kurang independen dan imparsial

§ Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial

§ Inkonsistensi dan diskriminasi dalam penegakkan hukum

§ Besarnya intervensi kekuasaan terhadap hukum

§ Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat

§ Rancangan pemahaman masyarakat mengenai hukum dan HAM termasuk adanya miskonsepsi tentang kebebasan mendasar dan demokrasi

§ Keterbatasan pemahaman para pembuat keputusan dalam berbagai tingkatan mengenai hukum dan HAM

Kesemua fenomena di atas merupakan sebagian dari faktor-faktor yang telah memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan HAM serta keseluruhan atributnya (pembuat, penegak dan simbol-simbol hukum). Bahkan kondisi ini juga tekag mereduksi kepastian hukum sebgai suatu pilar yang melandasi tegaknya hukum dimanapun dan pada gilirannya menciptakan kondisi yang belum menunjang pemenuhan HAM seutuhnya. Salahkan kalau orang menenggarai adanya distrust, disrespect and disobedience to law? Pada dasarnya, suatu hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Namun sudah sejak lama orang mempunyai keraguan atas hukum yang dibuat manusia. bahwasannya hukum seringkali berlaku sebagai sarang laba-laba, yang hanya menangkap.

Berdasar hal ini maka jelaslah bahwa hukum yang berlaku dan HAM yang dijalankan belumlah mencerminkan ideologi, kepedulian dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, dan tidak semata-mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka. Setelah terpuruk pada kondisi semacam ini, reformasi hukum adalah suatu conditio sine qua non bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara yang berdasar atas hukum. Hukum yang dimaksudkan di sini adalah hukum yang berpihak pada rakyat, yang memperhatikan keadilan sosial, yang mencerminkan pemajuan dan perlindungan HAM, sebagaimana telah dicantumkan dalam Konstitusi. Bahwasannya hukum bukan hanya merupakan pedoman berprilaku bagi rakyat, tapi juga bagi aparat pemerintahan dan seluruh penyelenggara kegiatan kenegaraan, merupakan suatu norma yang telah diakui secara universal. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa seringkali hukum hanya dipergunakan sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka, dan jarang dijadikan acuan bagi diri sendiri oleh pemerintah dan pemegang kekuasaan lainnya. Hal inilah yang pertama-tama harus disadari oleh semua pihak, agar dapat mencapai kondisi kenegaraan yang mapan dan rakyat yang sejahter, yakni bahwa hukum harus diperlakukan sebagai panglima dalam negara hukum. dan HAM yang oleh suatu Negara diakui, secara hukum dapat dibagi menjadi dua kategori :

1. Hak-hak pokok yang hanya dimiliki oleh para warga negara dari negara yang bersangkutan.

2. Hak-hak pokok yang pada dasarnya dimiliki semua orang yang berdomisili dinegara yang bersangkutan.

kemudian kita kenal pembagian HAM sebagai berikut :

Pribadi

Klasik Politik

Hukum Persamaan

HAM Diperlakukan sama

Sosial Budaya

Ekonomi

Kemasyarakatan

Kolektif

Akhir-akhir ini dalam perkembangan konsepsi dasar HAM kita jumpai :

· Generasi Pertama, terutama mengenal hak-hak pokok politik dan hukum

· Generasi Kedua, terutama menyangkut hak-hak dasar ekonomi, sosial dan budaya

· Generasi Ketiga, hak-hak suatu komunitas untuk berkembang maju (the right to developmentalis)

Semua ketidak adilan dan kesengsaraan yang terjadi di Indonesia di atas hanyalah sedikit dari suatu refleksi bahwasannya hukun dab HAM memang belum sepenuhnya dijadikan acuan berprilaku, bukan yang oleh seluruh warga masyarakat tapi juga oleh para pembuat keputusan di berbagai tingkatan pemerintahan (eksekutif, legislatif maupun yudikatif). Hukum yang ada belum lagi dapat memenuhi dan menjamin HAM; keputusan yang diambil masih dilandasi oleh berbagai faktor, dan hukum dan HAM belum dianggap sebagai suatu yang merupakan conditio qua non untuk dilaksanakan. Sebagai suatu negara yang telah mengikrarkan diri sebagai bertumpu pada keTuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kondisi konflik yang sampai saat ini masih berlangsung di berbagai wilayah Indonesia merupakan tamparan yang tiada terkiran. Kemana larinya nilai-nilai Pancasila yang luhur? Apakah memang masih dianut sebagai nilai yang mendasari kehidupan bangsa Indonesia, ataukah sudah memudar karena perubahan sosial yang begitu menggejolak?
Pancasila, Hukum dan HAM

Sebagai perangkat nilai yang menjadi cita huku (rechtsidee) masyarakat Indonesia sebagaimana dicetuskan awal mulanya oleh founding fathers kita, Pancasila seringkali dijadikan scapegoat, dengan menempatkannya sebagai “imbuhan” dalam berbagai konsep yang sebenarnya tidak begitu jelas. Upaya semacam ini telah lama menderogasi makna Pancasila sendiri, yang sebenarnya harus dijadikan sebagai landasan berpikir dalam menjalankan peran masing-masing individu maupun kelompok dalam kehidupan masyarakat. Dalam bidang hukum dan HAM, nilai yang terkandung dalam ke lima asas negara ini, menurut Hamid Attamini fungsi konstitutif dan regulatif. Fungsi konstitutif yakni yang menentukan dasar suatu tata hukum dan memberikan arti dan makna sebagai hukum. Sudah teramat jelas bahwa dengan mengacu kepada fungsi ini, maka dalam setiap proses perumusan ketentuan perundang-undangan, para perumus harus selalu menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai acuannya dan yang memberi kemungkinan bagi hukum untuk berfungsi sebagai :

a. as a tool of social engineering

b. as a dispute resolution mechanism

c. as a social control mechanism

fungsi regulatif dirumuskan sebagai fungsi yang menentukan apakah suatu hukum positif bersifat adil atau tidak adil.

Sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial, hukum sepantasnya mengacu pada tujuan utama yang ditentukan, yang jika diterjemahkan melalui Pembukaan UUD 1945 adalah “masyarakat yang cerdas, adil dan makmur”. Merupakan konsekuensi logis apabila kemudian semua ketentuan perundang-undangan harus dapat dikembalikan kepada tujuan tersebut. Ketentuan perundang-undangan yang menyimpang darinya dengan demikian harus dikategorikan sebagai null and void. Dari uraian singkat ini selayaknya dapat dipahami bahwa ketentuan hukum pada dasarnya bukan hanya ditujukan bagi subyek yang berupa rakyat suatu negara, akan tetapi juga mengikat para penyelenggara kekuasaan negara yang tercemin dari konsep Negara berdasar atas Hukum dan bukan atas dasar kekuasaan.

Landasan yang diberikan dalam nilai-nilai Pancasila untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, dapat diuraikan secara sederhana. Nilai religius yang diamanatkan dalam sila pertama, dapat dikatakan merupakan suatu keunikan dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Barat misalnya, yang tentunya berangkat dari kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Dengan menempatikan diri sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, ingin disampaikan bahwa pada dasarnya manusia (termasuk manusia yang menyelenggarakan kekuasaan) tidak akan berarti apapun dalam kehidupannya tanpa kekauasaanNya. Kerangka pikir utama yang dapat ditarik dari sila ini dalam kaitannya dengan hukum dan HAM adalah :

a. Negara berkewajiban untuk menjamin hak dan kebebasan dasar setiap individu untuk beragama secara bebas;

b. Ketentuan perundang-undangan harus selalu mengacu pada nilai-nilai keTuhanan yang universal; dan

c. Semua individu dalam negara memiliki hak yang asasi untuk memilih dan menjalankan ibadahnya sesuai dengan apa yang ia percayai.

Kondisi pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa rendahnya toleransi pada perbedaan dan upaya untuk mengunggulkan golongan sendiri atas dasar apapun telah membawa akibat negatif yang luar biasa pada kehidupan masyarakat Bhineka Tunggal Ika et pluribus unnum yang ditera pada lambang negara seakan tidak memiliki makna simbolis apapun lagi, kecuali slogan yang harus dihafalkan. Kesadaran yang amat tinggi dari founding fathers NKRI akan pluralisme rakyat Indonesia, tidak diikuti dengan upaya-upaya untuk mengkomunikasikannya kepada setiap insan Indonesia. Justru kelompok-kelompok tertentu mengedepankan keunggulan karakteristik kelompok mereka dibandingkan kelompok lain, yang pada gilirannya dapat membuahkan berbagai konflik. Kesadaran akan makna persatuan menjadi tercabik-cabik oleh fenomena semacam itu.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, merupakan asas yang menghasilkan seperangkat nilai yang menjadi landasan kehidupan sebagai warga negara dalam pemerintahan, yang dirumuskan dalam hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Pada dasarnya, asas ini mengutamakan partisipasi publik yang merupakan salah satu unsur dalam kerangka Good Governance. Implikasinya adalah bahwa dalam proses pengambilan keputusan, publik harus dilibatkan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Pada masa lalu telah kita saksikan bahwa keputusan yang monolitik, yang semata-mata diputuskan oleh “Pusat” tanpa memperhitungkan suara publik (termasuk kebutuhan dan kondisi lokal) sangat banyak menghasilkan kondisi yang tidak kondusif untuk rakyat secara keseluruhan. Bahwasannya publik hanya menjadi obyek dan bukannya subyek dalam pemerintahan begitu meluas terjadi, yang pada akhirnya menimbulkan perasaan tidak diperlakukan secara adil, dengan dampak yang kita masih alami saat ini.

Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai refleksi dari elemen ini, pada awalnya diharapkan dapat menghasilkan keputusan yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat. Akan tetapu dalam kenyataannya ternyata harapan ini masih jauh dari ketercapaian. Proses demokrasi yang kini tengah diupayakan untuk berjalan masih diwarnai oleh berbagai miskonsepsi dan juga penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung elemen keadilan yang sebenarnya lebih dari sekedar keadilan menurut hukum (legal justice). Sila terakhir ini membawa kedepan sejumlah landasarn pikir bagi semua komponen, yang menyangkut antara lain :

a. hak atas pendidikan, pekerjaan, perumahan yang layak bagi setiap insan;

b. hak atas keadilan hukum yang didasari pada asas persamaan di muka hukum;

c. adanya mekanisme hukum yang memastikan bahwa keadilan diberikan pada setiap insan.

Mudah dipahami, bahwa perumusan ketentuan mengenai HAM yang kini ada dalam konstitusi merupakan hasil dari tuntutan civil society yang makin menguat yang merefleksikan keinginan publik untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan penentuan kebijakan. Sejarah Indonesia yang baru saja dialami, banyak menunjukkan adanya ketidak pedulian pada HAM, utamanya yang dilakukan oleh pihak yang memiliki akses pada kekuasaan, dan kondisi ini harus segera diperbaiki untuk masa depan Indonesia. Adapun HAM dalam Pasal 28 Amademen II Konstitusi

1. hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya;

2. hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;

3. hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

4. hak untuk mengembangan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, hak atas pendidikan dan memperoleh manfaat dari IPTEK;

5. hak untuk memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun bangsa;

6. hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kapasitas hukum;

7. hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum;

8. hak untuk bekerja dan mendapat imbalan yang layak;

9. hak dalam pemerintahan;

10. hak atas status kewarganegaraan;

11. hak untuk beragama dan beribadat;

12. hak untuk memilih pekerjaan;

13. hak untuk memilih kewarganegaraan;

14. hak untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta kembali ke negaranya.

15. hak atas kebebasan meyakini kepercayaannya, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani;

16. hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informsi, termasuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi melalui sarana apapun;

17. hak atas perlindungan diri pribadi dan keluarganya, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya;

18. hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;

19. hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia;

20. hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin;

21. hak atas keadilan dan persamaan;

22. hak atas jaminan sosial;

23. hak untuk mempunyai hak milik pribadi;

24. hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) mencakup :

1.

hak untuk hidup;
2.

hak untuk tida disiksa;
3.

hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4.

hak beragama;
5.

hak untuk tidak diperbudak;
6.

hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7.

hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
8.

hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut; dan

25. hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif.

Sumber : http://www.harypr.com/

Facebook Twitter RSS