Bukan sekedar muter keran – Perlu “Exploration Sharing Contract”
Gambar dibawah ini merupakan salah satu slide yang saya presentasikan kemarin diacara Panelis Discussion di acara Join Convention Makassar (HAGI-IAGI). Gambar ini menunjukkan bahwa jeda waktu (time lag) sejak diketemukan hingga mencapai puncak produksi migas itu berkisar 15-30 tahun !! (tercepat saat ini masih 5 tahun, dan untuk lapangan raksasa (Duri) memerlukan 50 tahun !) Jadi keputusan strategis itu ndak bisa dipakai untuk mendongkrak popularitas politis.
Yang diperlukan saat ini adalah seorang negarawan sejati untuk memikirkan strategi masa depan negeri !!
Selang waktu antara penemuan hingga puncak produksi migas di Indonesia.
:( “Wah, Pakdhe sekarang mulai serius kalau berbicara. Selamat ya, Pakdhe !”
:D “Guyon itu ada waktunya. Sesekali harus serius Thole”
Saat ini untuk satu lapangan saja detilnya mungkin rata-rata sejak discovery hingga first oil 5-10 tahun, namun kebanyakan bahkan lebih dari 10 tahun. Untuk yang super cepat mengikuti prosedur POP (Put on Production) diamana dahulu sering disebut “prolong test”, statusnya mirip ngetest produksi (DST) tetapi prinsipnya sebenarnya sudah memproduksikan. Menurut pengamatan selintas POP ini secara nasional mungkin dampak produksinya kecil (cmiiw). Walaupun memberikan nilai keekonomian lebih baik pada kontraktor sebagai insentif.
Minyak
Kita lihat dahulu untuk minyak (oil). Gambar terlampir ini menunjukkan lebih kepada dampak sebuah kebijakan strategis kedalam aggregat produksi untuk keseluruhan Indonesia. Memang tidak bisa dianggap hanya dampak kebijakan thok yang berpengaruh, harga minyak serta iklim investasi juga mempengaruhinya. Yang dapat dilihat disini antara lain adalah produksi yang langsung anjlok 30 tahun setelah PSC dicanangkan. Kalau melihat bahwa backgrond produksi dibaliknya ada Minas dan Duri yang merupakan andalan utama selama ini. Ini tidak bisa dipungkiri bahwa keputusan besar akan di ‘drive’ oleh lapangan besar ini. Dan tentunya kita tahun bahwa satu periode produksi adalah 30 tahun. Tentusaja setiap investor akan mengoptimasi produksinya untuk masa 30 tahun ini. Wajar saja. Dan inilah yang saya maksudkan sebagai konsekuensi logis dari PSC adalah merosotnya produksi setelah habis satu masa PSC.
Gas memiliki latar belakang sedikit berbeda, namun kalau dilihat dari lagtime sejak penemuan (discovery) hingga produksi juga memerlukan waktu yang sama (sama lamanya). Tentunya gas merupakan andalan masa depan. Hanya saja perlu difikirkan supaya pelajaran dari kisah anjloknya produksi minyak supaya tidak berulang (yang mengagetkan) pada produksi gas nantinya. Perlu dibuat pemikiran lain supaya ada usaha eksplorasi menggantikan gas yang diproduksi dikenal dengan istilah penyeimbangan R/P (RtP – Reserves to production).
Eksplorasi
Secara sederhana tentunya dikeahui bahwa minyak yang diproduksi harus diganti dengan penemuan baru. Kita tahu bahwa saat ini yang diperlukan adalah meningkatkan kegiatan eksplorasi untuk mengganti migas yang diproduksi, sehingga industri migas tetap dan mampu berkesinambungan. Saat ini kontrak pengusahaan migas yang ada saat ini memang disebut sebagai PSC (PRODUCTION sharing contract) saat ini kita tahu bahwa eksplorasinya yg kurang berhasil, karena itu barangkali perlu EXPLORATION Sharing contract (ESC) !
Bagaimana kalau dibuat kontrak pengusahaan eksplorasi (ESC), bila lapangan yg diketemukan saat eksplorasi tsb tidak diproduksikan maka akan dibeli oleh negara seharga (sebagai contoh saja) 10% dari harga wajar saat itu. Artnya perusahaan yg melakukan eksplorasi tidak benar-benar rugi 100% bila eksplorasinya gagal mencapai nilai keekonomian. Karena bagaimanapun sumberdaya yang diketemukan suatu saat dapat dimanfaatkan oleh negara (suatu saat nanti). Dan pembelian cadangan “kecil” (marginal) ini suatu saat akan dimanfaatkan oleh negara (host country).
sumber: http://rovicky.wordpress.com