Pancasila Dalam Konteks Reaktualisasi
Multikulturalisme
Euphoria demokrasi pasca reformasi sama sekali jauh dari solidaritas dan kebersamaan, hal tersebut kemudian memicu ketegangan dan/atau bentuk kekerasan baik langsung-maupun tidak langsung. Hal tersebut praktis terjadi dikarenakan Pancasila cenderung terabaikan bahkan cenderung termarjinalkan hanya karena Pancasila dianggap tidak reformis, secara kasuistis UU 20/2003 (Sisidiknas) tidak lagi menyebut Pancasila sebagai pelajaran wajib. dari asumsi tersebut perlunya ada bentuk-bentuk revitalisasi yang dipahami bersama, diantaranya :
Pancasila dan Multikultural
Etintas multicultural berlatar pada keragaman etnisitas agama, ekspresi budaya, dll yang semuanya harus dikelola dan difasilitasi dalam kesetaraan pengakuan dan toleransi
Semangat Pancasilais berbanding lurus dengan pengakuan multicultural, karena Pancasila lahir dari perbedaan etnis, identitas, kultur yang berjumlah banyak
Pancasila merupakan institusionalisasi multicultural yang membuka ekspresi, solidaritas dan partisipasi dalam semangat persatuan dan kemanusiaan
pembukaan ruang ekspresi ini akan mengurangi konflik, ketegangan, persengkongkolan dalam merebutkan supremasi etnik maupun kultur
Agenda Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah gagasan perjuangan tentang pengakuan atas realitas masyarakat yang majemuk dan pluralistic (bhineka)
Perjuangan untuk memposisikan nilai-nilai lokalitas yang partikularistik dalam gelombang universalitas
bagian dari upaya membangun toleransi dan menerima pluralisme sebagai realitas
Multikultural sebagai Kesadaran Realitas Ragam
Hal ini disebabkan sebagai pendekatan budaya menawaarkan hadirnya realitas ganda, multy reality, kebedaan-kemiripan, keragaman, lokalitas atau partikularitas – universalitas nasionalitas-globalitas
Dalam konstruk seperti hal tersebut, kesadaran multicultural menjadi pilar sebagai fasilitas dan eliminir ketegangan yang mendikotomi
Pentingnya Multikulturalisme
Kebudayaan membentuk berbagai identias kelompok, maka yang lain harus menerima dan mengakui yang lain
Kemajemukan budaya memperluas lingkup pilihan dan kebebasan, apalagi dalam konteks globalisasi sehingga komunikasi antar budaya akan semakin mudah
Kemajemikan budaya akan memperluas imaginasi dan simpati, mengembangkan sikap toleran, mendorong kompetisi, memperdalam makna dan memperkaya warna
tidak ada kebudayaan manapun yang mampu mewujudkan semua nilai. Budaya yang berbeda akan saling melengnkapi dan mendorong berefleksi diri
Problem atas fenomena
Lemahnya local wisdom dalam melihat dinamika multicultural
Munculnya kesenjangan antar perilaku actor structural dengan keinginan cultural behavior
Semakin lebarnya jurang pemisah antara politik patron dan clien
fenomena distrust atas perilaku elit local
Pengeroposan Partikularitas
Globalisasi merupakan proses menciutnya dunia (compression of the world) dan mengakibatlan ruang dan waktu (time-spece compression), karena intensivikasi dan mobilitas manusia dan teknologi. selanjutnya kondisi tersebut mengakibatkan pergeseran nilai dalam kehidupan berbangsa, karena Negara dikuasai oleh berbagai kekuatan internasional dan transnasional, akhirnya akan terjadinya pergeseran dunia yang berpusat pada Negara kebangsaan (start centric world) kepada dunia yang berpusat pada kemajemukan (multy centric world), dari asumsi tersebut dapat dipahami atas beberapa hal, diantaranya :
Fenomena Partikularitas
Perubahan semacam itu akan mampu membawa arah perunahan idiologi yaitu dari particular menjadi idiologi universal yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis pasar
kebijakan state akan senantiasa ditentukan oleh transnasional kapitalis yang cepat atau lambat akan membelokkan way of life sebuah bangsa
Solutif
Reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dan menjadikan dasar multikulturalisme
Menolak fanatisme dan supremasi cultural yang menindas dan dapat mengancam keberagaman budaya
Secara normative kebijakan local state harus melibatkan partisipasi dan mengakomodasi kepentingan yang multicultural, terutama dari calon korban
Oleh karena itu wilayah multicultural dan pluralis hendaknyalah dipahami sebagai unsure puncak budaya yang tumbuh dan berkembang dengan cirri pertama, sangat luas persebarannya di Tanah Air (universality) ; kedua, mempunyai relevansi nyata ; ketiga, mempunyai kekhususan ; keempat, memiliki potensi kemajuan adab. Selanjutnya ada beberapa kerangka prinsip yang harus dipahami, adapun sebagai-berikut :
Prinsip Universalitas, karena sebagi unsur-unsur yang sangat luas persebarannya dan dapat dianggap sebagai unsure kebudayaan yang menunjukkan persamaan (cultural similarity) dank arena itu sangat besar peluangnya untuk diterima sebagai unsure yang dapat memperkaya dan menstimulan perkembangan kebudayaan.
Prinsip Relevansi, hal ini dapat diasumsikan bahwa budaya harus mempunyai kegunaan praktis (utility) dalam masyarakat majemuk yang memerlukan kerangka acuan maupun media social untuk memperlancar interaksi social lintas lingkungan atau ranah kebudayaan secara tertib.
Prinsip Distingtif (distinctiviness), ini dapat diartikan sebagai unsure yang menunjukkan kekhususan sebagai unsure budaya yang diidolakan sebagai unsure jati-diri bangsa yang membedakan dari bangsa lain. Hal ini jika dimasyarakatkan secara insentif akan dapat membentuk kepribadian bangsa yang diharapkan, seperti nilai-nilai budaya dalam menghargai musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam tataran demokrasi.
Prinsip Kemajuan (adab), ini juga diartikan sebagai unsure yang membuka peluang atau memperlancar kreativitas masyarakat untuk mengembangkan penemuan menuju adab sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Karena itu puncak tidak menutup kemungkinan dapat mengadopsi budaya asing, dengan catatan tidak menghilangkan alur budaya kita sendiri.
Prinsip Kesetaraan (equality), UUD 1945 juga telah menekankan arti semangat kesetaraan disamping keaneka-ragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimnana tercermin tentang arah kemajuan yang harus ditempuh, yaitu menuju keadaban yang maju, budaya dan persatuan bangsa. Karena peleburan masyarakat majemuk menjadi satu bangsa yang baradab tidak mungkin terlaksana tanpa pengakuan dan penghormatan kesetaraan dalam keanekaragaman atau Bhineka Tunggl Ika.
Dengan pengertian puncak-puncak kebudayaan itulah, kekecewaan maupun kecemburuan sosial yang ditimbulkan oleh kecenderungan subyektivitas dan dominasi kebudayaan tertentu dalam pengembangan kebudayaan nasional dapat dihindarkan atas dasar keanekaragaman dan kesetaraan yang seringkali dianggalkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat secara umum.
Sumber : http://www.harypr.com/