Revoluzine Blogger

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Maulydia Taysa Novella

Maulydia Taysa Novella

Mengenai Saya

Maulydia Tasya Novella lahir pada 1994, di kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. saya dibesarkan oleh kedua orang tua, ibunda saya Helmy Hartati yang merupakan seorang perawat di Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh. Ayahanda saya Mahfuz, seorang wiraswasta. mereka adalah pahlawan yang sangat berjasa. saya adalah satu dari sekian banyak blogger Indonesia yang menggunakan blog sebagai wahana pembelajaran online dan memberikan beberapa materi yang terdapat di blog saya untuk dapat digunakan oleh orang lain dengan segala manfaatnya. Maulydia Tasya Novella merupakan seorang siswi MIN Banda Aceh yang meneruskan pendidikannya ke MTsN Banda Aceh dan sekarang di SMA Fatih Tengku Nyak Arief Banda Aceh.. insya Allah saya akan meneruskan pendidikan saya ke Fakultas Kedokteran UGM. amin.

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Entri Populer

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Dan Keamanan

Memasuki era globalisasi, fenomena yang berkembang adalah pergeseran dan perubahan dalam segala aspek kehidupan. Sebuah bangsa tidak akan lagi dapat mempertahankan kedaulatannya dalam arti luas. Jangankan budaya, ekonomi, politik, ideologipun tidak steril dari kepentingan dan pengaruh global. Pada awal dekade ’90 semakin marak berbagai ramalan dari hasil kajian strategi terhadap kemungkinan runtuh dan pecahnya suatu negara bangsa. Suatu negara bangsa yang heterogen mengandung potensi kerawanan SARA dan latar belakang sosial, akan runtuh dan pecah menjadi beberapa negara. Ramalan tersebut di satu sisi terbukti kebenarannya antara lain Uni Soviet, Yogoslavia dan Czekoslovakia yang telah hilang dari peta politik dunia. Namun di sisi lain menggugah jiwa, semangat, tekat dan komitmen berbagai negara bangsa untuk dapat menjamin dan memelihara persatuan dan kesatuan dalam rangka mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup negara bangsa tersebut. Bangsa Indonesia menegara sebagai negara nasional, juga merupakan negara bangsa yang heterogen mengandung rawan SARA. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia, agar mau dan mampu meningkatkan jiwa, semangat, tekat dan komitmen terhadap wujud persatuan dan kesatuan dalam kebhinnekaan demi tetap tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Saat ini bangsa Indonesia telah memasuki era globalisasi dan millenium ke-3 yang sangat keras hukum dan logikanya. Dalam proses awal itu bukan hanya telah terjadi pergeseran, bahkan juga telah terjadi perubahan dan peralihan momentum Reformasi nasional dilaksanakan guna mengatasi krisis multidimensi melalui Propenas (Program Pembangunan Nasional) yang berkesinambungan guna dapat bangkit kembali memperkukuh kepercayaan diri atas kemampuannya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional, dimana dalam melaksanakan Propenas tersebut ditegaskan bahwa Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landaan konstitusional.

Dalam konteks pemahaman tentang Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, untuk kita posisikan kembali dalam paradigma pembangunan nasional. Paradigmatik terhadap pemahaman dan pencerahan nilai-nilai luhur Pembukaan UUD 1945 yang menjadi satu kesatuan secara integral-integratif dengan Pancasila sebagai dasar negara, harus dapat dijadikan landasan konseptual mendasar pada setiap aspek kehidupan dan bidang pembangunan.

Atas dasar pemahaman itulah dengan mengacu pada topik Pancasila sebagai paradigma pembangunan Hankam, ada empat agenda yang akan dikedepankan :

1. Ciri Dasar Pandangan Pancasila Dalam Menegara

Negara Indonesia merupakan negara nasional yang menganut Paham Kebangsaan, yang didirikan atas dorongan untuk hidup bersama, bukan atas landasan etnik, suku, agama dan ras apalagi primordialisme, tetapi atas dasar landasan teik kebangsaan. Pahak kebangsaan ini bukanlah hanya sekedar alat pemersatu bangsa melainkan juga kandungan semangat, cipta, rasa, karsa dan karya yang sangat menciptakan perwujudan masyarakat adil, makmur dan sejahtera yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaannya tentu mengapa paham kebangsaan di Indonesia sangat khas ? Jawabannya adalah, karena pada hakikatnya paham kebangsaan ini tidak lepas dari hakikat keberadaan Pancasila, yang mengilhami, mendasari dan bahkan merintis rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan, serta wawasan kebangsaan, serta wawasan kebangsaan sebagai bangsa pejuang yang merebut kemerdekaan dari kaum penjajah. Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, kesadaran untuk bersatu sebagai salah satu bangsa yang lahir secara alamiah karena sejarah, aspirasi perjuangan masa lampau, kebersamaan kepentingan, rasa senasib sepenanggungan dalam menghayati masa lalu dan masa kini, serta kesamaan pandangan, harapan dan tujuan dalam merumuskan cita-cita bangsa untuk masa depan yang lebih baik. Paham kebangsaan adalah aktualisasi dari rasa kebangsaan yang berupa gagasan pikiran-pikiran yang rasional dan metode berpolapikir di mana suatu bangsa secara bersama-sama memiliki cita-cita kehidupan berbagsa dengan tujuan nasional yang jelas dan rasional. Semangat kebangsaan adalah kerelaan berkorban dalam bentuk karsa, karya dan cipta demi kepentingan bangsa, negara dan tanah airnya. Tumbuh dan berkembangnya rasa kebangsaan dan paham kebangsaan ini gilirannya akan membentuk semangat kebangsaan yang mengkristal menjadi wawasan nusantara.

Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang yang dilingkupi oleh rasa kebangsaan, paham kebangsaan dan semangat kebangsaan untuk mencapai cita-cita nasionalnya dan mengembangkan eksistensi kehidupannya atas dasar nilai-nilai luhur bangsa. Implementasi dan aktualisasinya dari berbagai hal yang erat kaitannya dengan pemikiran yang menyangkut aspek kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan Hankam, untuk membawa bangsanya ke arah kehidupan yang lebih maju dan lebih baik, sesuai dengan komitmen kebangsannya itulah yang disebut Wawasan Kebangsaan. Wawasan Kebangsaan yang lebih berciri universal kemudian dikonkritkan menjadi Wawasan Nusantara yang lebih bermakna khas Indonesia telah memuat konsepsi dasar yang menghendaki persatuan dan kesatuan segenap komponen bangsa Indonesia. Konsepsi Wawasan Nusantara merupakan pengejawatahan dari Pancasila yang implementasinya berupa kebijaksanaan dan strategi serta upaya untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan Nasional serta ketertiban dan perdamaian dunia menuju persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa.

Dengan landasan Pancasila ini, wawasan kebangsaan yang kita anut sebagai Wawasan Nusantara, menentang segala bentuk penindasan oleh suatu bangsa terhadap bangsa yang lain, oleh suatu golongan terhadap golongan yang lain, karena dilandasi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa yang melahirkan hakikat misi yang diemban manusia Indonesia yang dijabarkan pada sila-sila lainnya dari Pancasila. Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam menegara akan melahirkan kesadaran dan pencerahan tentang tata hubungan lingkungan yang melahirkan sikap ketergantungan, sehingga terpanggil untuk memberikan konstribusi konstuktif bagi keselamatan dan keamanan diri dan lingkungan serta bangsa dan negaranya, dengan prinsip bahwa bangsa Indonesia cinta damai namun tetap lebih cinta kemerdekaan.

Dalam masyarakat yang heterogen, menjadi mengedepan bagaimana etika dan tata krama yang santun dan dewasa bagi penyelesaian perbedaan pendapat dan kepentingan di antara masyarakat yang aspirasinya beragam, secara damai, etis, kritis dan dewasa serta mendidik. Mengelola perbedaan itu, justru perlu untuk menumbuhkan dinamika dalam suasana yang demokratis. Pancasila juga menawarkan interelasi dan interaksi antar golongan di dalam masyarakat guna memperkukuh solidaritas sosial dalam rangka menghadapi segenap tantangan dan bahaya yang mengancam, sehingga tercipta kehidupan yang harmoni baik di lingkungan lokal dan nasional maupun dalam fora regional dan modial.

2. Pancasila Sebagai Paradigma Program Pembangunan Nasional (Propenas)

Pembangunan pada hakikatnya upaya melakukan perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih baik. Setiap negara membutuhkan pembangunan untuk melakukan perubahan sosial ke suatu tujuan yang ditentukan dan disepakati bersama. Perubahan yang dilaksanakn bisa bersifat evolusi dan atau revolusi. Pilihan yang telah menjadi kesepakatan bangsa Indonesia untuk melakukan sebuah reformasi, baik dalam upaya mengatasi krisis maupun dalam rangka menjawab tantangan masa depan di era globalisasi dan millenium ke III.

Belajar dari pengalaman sejarah negara lain, kegagalan menyelesaikan sebuah reformasi dapat meniadakan eksistensi sebuah negara-bangsa. Untuk itu reformasi pembangunan harus didudukkan perspektif normasliasi dan penyelamatan kehidupan nasional, perbaikan kesejahteraan rakyat, penegakan hukum konstitusi, etika dan stabilisasi politik serta hadirnya rasa dan keadaan aman di tengah masyarakat luas. Keseluruhan upaya harus dikelola dan dikendalikan dengan berlandaskan paradigma nasional sebagai landasan instrumental yang telah menjadi kesepakatan bersama untuk senantiasa difahami, dilaksanakan dan dipatuhi secara konsisten dan konsekuen. Atas dasar hal tersebut segenap komponen bangsa harus mau dan mampu mendudukkan paradima nasional meliputi pancasila, UUD 1945, sebagai landasan nilai-kualitatif yang harus menjadi penyadaran komitmen dan kesepakatan bersama. Paradigma nasional bangsa Indonesia sebagai kerangka dan urutan pikiran dalam proses politik meliputi : Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional dan GBHN, harus benar-benar difahami, dilaksanakan dan dipatuhi pada setiap kebijaksanaan, strategi dan komitmen Propenas. Dengan dilandasi paradima nasional tersebut maka visi yang mengandung masa depan yang realistis, dapat dipercaya dan bermakna penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, harus juga menjadi visi reformasi bangsa Indonesia.

Visi global bangsa Indonesia secara eksplisit dimuat dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan penjajahan tidak sesuai dengan perikamanusiaan dan perikeadilan. Sedangkan visi nasional secara eksplisit tertuang dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 sebagai wujud Cita-cita Nasional yang menyatakan bahwa Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Selanjutnya dituangkan dalam alinea keempat sebagai Tujuan Nasional meliputi catur embanan :

1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

2) Memajukan kesejahteraan Umum

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa

4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kepentingan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita Nasional dan kepentingan tercapainya Tujuan Nasional merupakan hakikat Kepentingan Nasional yaitu kepentingan keamanan dan kepentingan kesejahteraan. Kepentingan kemananan adalah kelangsungan hidup bangsa dan negara, yang menjamin dan mempertahankan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, untuk melindungi sengenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kepentingan kesejahteraan adalah perkembangan kehidupan bangsa dan negara, yang menjamin dan mengembangkan negara Indonesia yang adil dan makmur, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kepentingan Nasional memiliki spektrum kepentingan vital (vital interest) kepentingan utama (major interest) dan kepentingan periferal (peripheral interest). Tingkatan keberhasilan Pembangunan Nasional mencerminkan tingkat spektrum kepentingan yang dapat dipertahankan dan dikembangkan. Kepentingan Keamanan Nasional pada tingkat spektrum vital tidak boleh dikorbankan yaitu kelangsungan hidup bangsa dan negara serta jaminan tetap tegaknya kedaulatan NKRI. Sedangkan Kepentingan Kesejahteraan Nasional yang vital dan tidak mungkin dikorbankan adalah menjamin pemerataan pada tingkat terpenuhinya kebutuhan dasar setiap warga negara. Kalau hal ini tidak terpenuhi akan terkait dan berimplikasi dengan kepentingan pertahanan dan keamanan. Untuk itu perlu meletakkan kemblai Pancasila secara integral-intregatif dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, akan dapat menemukan landasan berpijak yang sama, menyelamatkan persatuan dan kesatuan nasional yang kini sedang mengalami disintegrasi.

Kesalahan kita selama ini ialah bahwa di dalam kita menafsirkan, memahami dan melaksanakan Pancasila secara sadar ataupun tidak dilepaskan, diredusir dari nilai-nilai yang tercantum dalam Pembukaan sedemikian rupa sehingga Pancasila disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang justru bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Repositioning dalam konteks reformasi melalui Propenas mengandung makna bahwa Pancasila harus kita revitalisasikan dala keutuhan dengan Pembukaan, dieksplorasikan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :

· Realitasnya, dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam dikonkretisasikan sebagai cerminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

· Idealitasnya, dalam arti bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektivasikan untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok yang lebih baik.

· Fleksibilitasnya, dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan mandeg dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat Bhenika Tunggal Ika.

3. Pendekatan Pembangunan Dan Pengembangan Pertahanan Dan Keamanan Yang Demokratis

Pengembangan Hankam negara tetap bertumpu dan berpegang pada pendekatan historis Sishankamrata. Sishankamrata yang kita anut selama ini adalah sistem pertahanan dan keamanan negara yuang hakikatnya adalah perlawanan rakyat semesta. Dalam arti bahwa kemampuan penangkalan yang diwujudkan oleh sistem ini, sepenuhnya disandarkan kepada partisipasi, semangat dan tekat rakyat yang diwujudkan dengan kemampuan bela negara yang dapat diandalkan. Kesemestaan harus dibina sehingga seluruh kemampuan nasional dimungkinkan untuk dilibatkan guna menanggulangi setiap bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. .

Seluruh wilayah merupakan tumpuan perlawanan dan segenap lingkungan harus dapat didayagunakan untuk mendukung setiap bentuk dan kesemestaan, memang menuntut pemanduan upaya lintas sektoral serta pemahaman dari semua pihak, baik yang berada di suprastruktur politik maupun di infrastruktur politik. Corak perlawanan rakyat semesta tersebut dengan sendirinya merupakan kebutuhan, baik konteks kesiapan menghadapi kontinjensi sosial yang setiap saat bisa terjadi, maupun menghadapi kontijensi bidang hankam. Disamping itu TNI juga mendapat embanan tugas bantuan yang meliputi : Pertama, membantu penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan. Kedua, memberikan bantuan kepada kepolisian atas permintaan. Ketiga, membantu tugas pemeliharaan perdamaian dunia.

Meskipun MPR telah dapat menetapkan peran TNI, maka masih diperlukan payung hukum yang menjadi dasar dari perubahan fungsi dan organisasi. Sebagaimana diketahui Tap MPR merupakan aturan dasar yang melalui undang-undang dapat berwujud Verbindliche Rechtsnormen yang disertai paksaan dan hukuman. Tingkat pertama undang-undang merupakan tempat selain untuk merinci aturan dasar yang terdapat dapam Tap MPR, juga untuk menjadikan aturan dasar itu mempunyai kekuatan memaksa hukum bagi pelanggar-pelanggarnya.

4. Refungsionalisasi Pertahanan Dan Keamanan Dari Perspektif Tataran Kewenangan

Dalam membahas tataran kewenangan fungsi pertahanan kita tidak dapat menghindarkan diri dari pembahasan hubungan sipil-militer. Dr. Eliot A. Cohen, menyatakan bahwa hubungan sipil-militer dapat dilihat dalam tiga tingkatan, yaitu pertama, hubungan antara kaum militer dengan masyarakat secara keseluruhan, kedua, hubungan antara lembaga militer dengan lembaga yang lain, baik lembaga pemerintahan maupun swasta, dan ketiga, hubungan antara para perwira militer senior dengan para politisi dan negarawan. Bertolak dari pengertian Cohen tentang tingkatan hubungan sipil-militer, kita dapatkan kriteria yang digunakan untuk menandai baik atau buruknya hubungan tersebut. Dinyatakan terdapat tiga kecenderungan ekstrim hubungan sipil-militer yang perlu dihindari karena menandai buruknya hubungan sipil-militer tersebut. Ketiga kecenderungan ekstrim memainkan peran melebihi batas kewenangannya (military overreach), kedua, apabila militer diisolasi dari masyarakat, dan ketiga, apabila terjadi intervensi sipil ke dalam manajemen internal militer.

Pembahasan tentang kondisi ekstrim tersebut sangat dipengaruhi oleh bentuk kendali sipil atas militer yang digunakan. Kendali sipil subyektif (Subjective Civilian Control) bersifat memperbesar kekuasaan sipil atas militer yang dapat berkembang menjadi penyalahgunaan militer oleh sipil untuk mendukung kekuasaannya. Sebaliknya kendali sipil objektif (Objective Civilian Control) bersifat memperbesar profesionalisme militer karena menghargai otonomi militer dalam penyelenggaraan manajemen internalnya. Sistem kendali ini merupakan bentuk yang ideal karena menempatkan militer sebagai alat negara, sehingga merupakan bentuk yang mewakili hubungan sipil-militer yang sehat.

Hubungan sipil-militer yang sehat itu sendiri bukan hanya dituntut dan ditentukan oleh militer semata, tetapi merupakan proses dua arah dan menuntut persyaratan yang dipenuhi oleh kedua belah fihak. Dari fikah militer, betapapun militer menyatakan dirinya melaksanakan tugas negara, namun tetap dituntut untuk tunduk kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku, menghargai kewenangan sipil dan bersikap non partisan tidak melibatkan diri memihak salahsatu partai politik manapun. Sebaliknya dari fihak sipil diharapkan bahwa sipil menghargai angkatan bersenjata sebagai alat sah sebuah negara demokrasi, menentukan tugas dan peran serta anggaran yang memadai bagi angkatan bersenjata, memahami masalah pertahanan dan budaya militer, serta memberi arah kebijakan pertahanan namun tidak mencampuri masalah manajemen internal militer.

Samuel Huntington memberikan sebuah model atas interkasi sipil-militer yang mengatakan (1) militer bukan disiapkan untuk berpolitik (2) peran politik militer merugikan profesionalitas militer (3) militer harus bersikap netral dalam politik (4) disiplin ilmu militer mengabdi kepada kepentingan politik namun bebas dari politk (5) profesi militer mengabdi kepada negara dan (6) militer mengakui kewenangan kebijakan politik. Diingatkan pula oleh penceramah meliputi pendapat Alfred Stepan bahwa pudarnya wibawa pemerintah, pecahnya pimpinan politik, kecilnya kemungkinan ancaman dari luar negeri, adanya kerusuhan dalam negeri dan persepsi militer sebagai kelas sosial tersendiri merupakan faktor pendorong intervensi militer.

Dari pemahaman urutan uraian tersebut dapat diajukan perumusan kembali pengertian hubungan sipil-militer sebagai hubungan yang menunjukkan keterikatan institusi pelaksana pertahanan negara yang diperankan oleh kaum militer dengan berbagai institusi pemerintah lainnya dalam sistem nasional yang diperankan oleh golongan sipil guna mencapai keputusan terbaik bagi kepentingan nasional, serta pemeliharaan nilai dan keseimbangan fungsional, berdasarkan kesepakatan bangsa. Dalam kaitan yang sama, maka supremasi sipil dimaknakan sebagai supremasi kekuasaan hukum dalam penyelenggaraan negara, dan tidak diartikan sebagai supremasi sipil atas militer, atau dikotomi sipil dan militer.

Sebagai arahan pembangunan, ke masa depan visi TNI dinyatakan bahwa TNI akan tetap merupakan kekuatan pertahanan yang profesional, efektif, efisiesn dan modern serta senantiasa siap mengamankan dan memberi sumbangan darma bakti yang diperlukan bagi kelancaran pembangunan bangsa menuju pencapaian tujuan nasional bersama-sama komponen strategis bangsa lainnya. Apabila kita mengadakan kilasbalik terhadap pengalaman pelaksanaan tugas TNI dan Polri untuk menyempurnakan atas segala kekurangan dan kelamahannya sebagai bahan evaluasi dan bagian dari reformasi internal TNI dan Polri, didapatkan satu yang merupakan sumber kerawanan mendasar, yaitu tataran kewenangan fungsi pertahanan keamanan. Kerawanan ini nyaris luput dari perhatian kita karena konsentrasi perhatian kita yang cenderung kita arahkan kepada dimensi operasional. Kurang memberi perhatian kepada landasan hukum terhadap suatu kebijakan ataupun tindakan operasional termasuk asas akuntabilitas, serta anggapan bahwa koordinasi dapat memberi jawaban atas segenap kerawanan dan kekurangan yang ada.

Mendalami persoalan yang timbul dari tindakan TNI dan Polri dalam melaksanakan tugasnya, kiranya dirasa sulit untuk mendapat jawaban atau rumusan solusi bila belum didapat kesepakatan bangsa atas tataran kewenangan pelaksanaan fungsi pertahanan keamanan. Dalam kaitan ini pula kita melihat bahwa masalah yang muncul dalam bidang pertahanan keamanan tidak dapat kita lepaskan dalam kaitannya dengan sistem nasional. Tataran kewenangan fungsi pertahanan keamanan langsung menjadi penting karena konspesi ini akan mendasari perumusan postur dan doktrin pertahanan keamanan negara. Sebagai definisi kerja yang kita gunakan dalam pembahasan ini, tataran kewenangan penyelenggaraan fungsi pertahanan keamanan didefinisikan sebagai : tataran yang mengatur kewenangan penyelenggaraan fungsi pertahanan keamanan, baik secara vertikal dilihat dari strata organisasi pertahanan dan pemerintahan, maupun horizontal dintinjau dari pembagian daerah geografik, dalam masa damai maupun dalam masa perang. Ditinjau dari anatomi permasalahan, maka persoalan yang terkandung dalam tataran kewenangan penyelenggaraan fungsi pertahanan keamanan merupakan rambu-rambu jawaban atas konsepsi yang dapat menjelaskan berbagai tataran kewenangan yang meliputi bagaiman tataran kewenangan : (1) untuk merumuskan kepentingan pertahanan keamanan, (2) untuk melaksanakan fungsi pertahanan keamanan TNI dan Polri dalam melaksanakan tugas dan peran masing-masing dikaitkan dengan tingkat keadaan suatu daerah, (3) pengelolaan sumber daya nasional di daerah untuk kepentingan pertahanan keamanan, dan (4) tanggung jawab (akuntabilitas keamanan) di tingkat nasional dan daerah.

Dalam membahas ups and downs hubungan sipil-militer di Indonesia dikaitkan dengan peran TNI, kita melihat bahwa sepanjang perjalan sejarahnya, TNI membentuk citra diri sebagai pertama-tama bagian dari bangsa yang berjuang dalam masa perang kemerdekaan, selanjutnya agent of development ketika bangsa ini mengawali pembangunan nasional, kemudian berturut-turut sebagai guardian of the nation terhadap segala ancaman persatuan dan kesatuan bangsa serta Konsensus Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dinyatakan pada akhirnya ABRI dengan konsep Dwifungsi telah menjadi alat kekuasaan dalam konteks format Politik Orde Baru. Persamaan yang dapat dilihat dari pemahaman perjalana sejarah tersebut adalah antara kurun waktu dekadi 1950-an dan saat ini, ketika TNI berada dalam situasi supremasi sipil. Situasi pada tahun 1950-an ketika Indonesia berada dalam sistem demokrasi parlementer telah berdampak pada pecahnya korps perwira TNI Angkatan Darat karena instruksi kepentingan politik memasuki tubuh TNI-AD dan ketika perseorangan perwira TNI-AD bermain politik dengan mengafiliasikan dirinya dengan aliran politik yang berasal dari luar TNI-AD. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah kondisi saat ini, dengan keberadaan multipartai dan supremasi sipil, akan merupakan pengulangan dari era 1950-an dengan gejala yang sama atau kita dapat menyatakan bahwa kita telah belajar dari sejarah dan keadaan pada tahun 1950-an tidak akan terulang ? Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa peran dan posisi apapun yang dimainkan oleh TNI, TNI senantiasa merupakan asset bangsa yang melaksanakan tugas negara untuk kepentingan nasional, berdasarkan keputusan politik. Peran TNI dalam kurun waktu tertentu harus dilihat secara kontekstual sejarah dan tidak dapat dilepaskan dari konteks format politik yang berlaku pada saat itu.

Dari peran Dwifungsi ABRI di masa lalu tersebut, dapat diambil pelajaran pula bahwa peran tersebut (1) tidak dalam dilepaskan dari pengalaman angkatan ’45, (2) tidak dapat dilepaskan dari berbagai keadaan darurat (3) sebagai akibat dari persepsi tentang kelemahan politisi sipil dalam era demokrasi parlementer (4) karena kekuasaan yang memusat serta sistem kontrol yang lemah, masyarakat diarahkan menjadi masyarakat yang result oriented (5) akibat budaya politik tidak mampu membangun sistem kontrol yang efektif, dan (6) mendapatkan kekuatanya dari legitimasi sejarah. Menyadari akan lingkungan yang berubah dengan cepat berdasarkan pelajaran yang dipetik dari sejarah tersebut, TNI kini telah merumuskan Paradigma Barunya. Dinyatakan dalam Paradigma Baru tersebut bahwa tindakan TNI senantiasa merupakan (1) pelaksanaan tugas negara dalam rangka (2) pemberdayaan kelembagaan fungsional, yang dilaksanakan (3) atas kesepakatan bersama (4) bersama-sama komponen strategis bangsa lainnya sebagai (5) bagian dari sistem nasional melalui (6) pengaturan konstitusional. Paradigma Baru TNI merupakan pemberdayaan institusi fungsional karena di masa banyak fungsi-fungsi yang sebenarnya milik institusi lain, baik disebabkan oleh kondisi objektif maupun subjektif, diambil alih oleh TNI. Setiap tindakan TNI merupakan hasil kesepakatan bangsa karena TNI selalu bertindak atas dasar keputusan politik. TNI tidak pernah menentukan untuk dirinya sendiri apa yang inggin ia perbuat, dan TNI menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional karena TNI tidak bersifat eksklusif dan bukan merupakan negara dalam negara. TNI hanya merupakan salah satu unsur kekuatan nasional (elements of national power) yang dapat digunakan oleh Presiden sebagai kepala eksekutif untuk merespons berbagai masalah kebangsaan bersama-sama dengan unsur kekuatan ekonomi, politik diplomasi, psikologi dan lain-lain. Panglima TNI mempunyai peran operasional untuk tugas mempertahankan kedaulatan negara, dengan mendelegasikan fungsi pembinaan perawatan dan penyiapan kekuatan kepada para Kepala Staf Angkatan. Kekuatan pertahanan diterima melalui pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan oleh Menteri Pertahanan. Oleh karenanya fungsi pemerintahan dalam bidang pertahanan diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan sehingga sesungguhnya figur politik berada pada Menteri Pertahanan. Panglima TNI merupakan figur profesional yang tidak mempunyai kewenangan menjangkau kepada masyarakat dalam masa damai. Kewenangan Panglima TNI menjangkau kepada masyarakat hanya terjadi ketika negara berada dalam keadaan darurat militer atau dalam keadaan perang.

Landasan konstitusional yang digunakan dalam menentukan posisi TNI adalah UUD 1945. Preambule UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia. Hal ini bermakna bahwa tugas dan kewajiban melindungi bangsa Indonesia bukan hanya merupakan tugas dan kewajiban TNI saja tetapi merupakan tugas dan kewajiban seluruh fungsi pemerintah melalui kewenangan fungsional masing-masing. misalnya Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL dan AU. Ketentuan ini harus difahami dalam satu nafas, dengan aturan menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, sedangkan dengan aturan yang lain menyatakan bahwa Presiden menyatakaan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang Undang.

Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL dan AU, apapun namanya dapat dimaknakakan bahwa Presiden adalah Panglima Tertinggi TNI. Hanya saja untuk kepentingan apa kewenangan tersebut digunakan dapat kita lihat yaitu dalam fungsi TNI sebagai alat pertahanan ketika negara dalam keadaan perang dan dalam pengerahan TNI untuk tugas penegak kedaulatan dan penjaga keutuhan wilayah nasional ketika negara dalam keadaan bahaya sebagaimana ditetapkan dengan Undang Undang dalam keadaan darurat militer. Sebaliknya hal ini dapat diartikan bahwa kewenangan Panglima Tertinggi tidak dapat digunakan untuk bidang lain di luar fungsi pertahanan negara, seperti untuk kepentingan sosial politik. Apabila kewenangan ini digunakan dalam bidang sosial politik maka akan terjadi penyalahgunaan TNI untuk mendukung kekuasaan Presiden. Kewenangan inipun diharapkan untuk tidak digunakan untuk mencampuri manajemen internal TNI, sesuai dengan kriteria hubungan sipil-militer yang sehat. Dalam alir hubungan sipil-militer yang sehat, alasan dan tujuan penggunaan militer senantiasa merupakan keputusan politik, namun penentuan penyiapan kekuatan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut akan merupakan domain manajemen internal TNI. Harus jelas dan dipatuhi batas yang mebedakan kewenangan politik dan kewenangan profesional.

Dari dua ketentuan dasar tersebut dapat dijabarkan berbagai hal yang memberi ketegasan hubungan antara Presiden dan TNI. Merupakan suatu kenyataan bahwa membedakan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara dengan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan tidak efektif untuk menentukan kekuasaan Presiden atas TNI. Selama Presiden merupakan Presiden yang terpilih melalui proses demokratis konstitusional, dan memiliki legitimasi, TNI patut untuk patuh kepada Presiden. Kewenangan untuk memilih seorang Presiden bukan berada pada TNI, tetapi pada DPR dan MPR. TNI sebagai alat negara tidak otomatis diartikan bahwa TNI dapat membantah kebijakan Presiden secara institusional. Maka TNI sebagai alat negara adalah apabila pemerintahan selesai masa baktinya, hal tersebut tidak berpengaruh kepada TNI, TNI masih tetap berfungsi.

TNI senantiasa bertindak berdasarkan keputusan politik, dan TNI tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil kebijakan yang berbeda dari pemerintah. TNI bukan merupakan negara dalam negara dan tidak pernah mengambil alih kekuasaan. Perbedaan perndapat antara Presiden dan Panglima TNI merupakan proses dan prosedur politik, tetapi tidak membawa TNI sebagai institusi dan dinyatakan ke luar kepada publik sebagai sikap politik TNI. Kewenangan Panglima Tertinggi atas TNI tidak digunakan dalam bidang sosial politik, sebaliknya TNI tidak akan pernah memiliki aspirasi sosial politik sendiri yang bertentangan dengan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, sebuah organisasi militer tidak dirancang untuk bermain politk, karena apabila hal tersebut terjadi, hanya terdapat dua kemungkinan, pertama, militer akan digunakan sebagai pendukung alat kekuasaan, atau, kedua, militer yang berpolitik independen akan menjadi negara dalam negara. Kontrol terhadap kekuatan eksekutif dalam tatanan demokratis harus dibangun dalam kerangka sistem politik, dan bukan dilakukan oleh militer. Tantangan kita sekarang ini adalah bagaimana membangun sebuah sistem politik yang efektif, kompeten dan taat hukum mencakup bangunan sistem kontrol yang efektif, serta membangun sebuah angkatan bersenajata yang profesional, efektif efisien dan modern dan mempunyai tugas dan peran dalam pertahanan negara, utamanya menghadapi ancaman dari luar negeri serta siap membantu keamanan dan pembangunan bangsa atas permintaan institusi fungsional.

Dalam melaksanakan pengelolaan pertahanan keamanan negara, Presiden dibantu seorang Menteri untuk fungsi pembinaan kemampuan pertahanan keamanan negara dan upaya pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan keamanan negara, dan Panglima Angkatan Bersenjata dalam fungsi pembinaan dan penggunaan setiap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengalir dari ketentuan di atas terlihat dengan jelas perbedaan tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata. Oleh karenanya untuk memisahkan dengan jelas kedua fungsi tersebut diemban oleh pejabat yang berbeda dan tidak dirangkap pada pejabat yang sama.

Selanjutnya dicerminkan dengan tugas fungsi Departemen Pertahanan adalah merumuskan kebijakan dan alokasi sumber daya, sedangkan Markas Besar TNI berfungsi untuk membina, menyiapkan dan menggunakan segenap komponen pertahanan keamanan negara dalam rangka mengabdi kepada kepentingan nasional. Tugas militer dalam mengelola sumberdaya nasional untuk kepentingan pertahanan di masa damai adalah membantu Pemda tanpa ada kewenangan yang menjangkau ke masyarakat. Tugas-tugas penyiapan ruang, alat dan kondisi juang, serta aspek Hankam dipadukan dalam rencana pembangunan daerah yang dipertanggung jawabkan kepada Pemerintah Daerah. Fungsi inilah yang kita kenal sebagai fungsi teritorial, di mana dalam keadaan darurat militer atau perang, militer (TNI) mempunyai kewenangan mengelola sumberdaya nasional untuk kepentingan pertahanan yang langsung menjangkau ke masyarakat.

Alternatif ini proporsional dengan tataran fungsi kewenangan Pemerintah Daerah dan Komando Teritorial. Karenanya alternatif ini yang disarankan dengan perubahan dilaksanakan secara bertahap, terutama dengan pemberdayaan fungsi Pemerintah Daerah dan Kepolisian Negara RI. Konsepsi Sishankamneg (Sistem Pertahanan Keamanan Negara) didasarkan pada Sishankamrata (Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), dengan upaya mendayagunakan sumber daya dan prasarana nasional secara menyeluruh, terarah dan terpadu, di mana upaya pertahanan diselenggarakan dengan membangun dan membina daya tangkal dan kekuatan tangkal negara terhadap ancaman dari luar negeri. Keseluruhannya dikelompokkan dalam kekuatan Bala Siap (Darat, Laut, Udara) dan Bala Cadangan, yang secara legal formal dalam Tap NO. VII/MPR/2000 dikelompok-kan sebagai komponen Hankamneg yaitu TNI dengan cadangan TNI sebagai komponen utama, dan rakyat beserta sarana prasarana sebagai komponen pendukung. Untuk menyelenggarakan perwujudan daya dan kekuatan tangkal dari Sishankamrata ditempuh melalui upaya Binter. Permasalahannya apakah Sishankamrata dan Binter masih relevan dan valid untuk diformulasikan pada format penyelenggaraan pertahanan negara ke depan ?

Selanjutnya untuk mengkaji Sishankamrata, secara eksplisit pada arah kebijakan bidang Hankam menatakan : Mengembangkan kemampuan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta yang bertumpu pada kekuatan rakyat dengan TNI, Polri sebagai kekuatan utama didukung komponen lainnya dari kekuatan Hankamneg dengan meningkatkan kesadaran bela negara melalui wajib latih dan membangun kondisi juang, serta mewujudkan kebersamaan TNI, Polri dan Rakyat. Landasan Tap MPR ini sebagai keputusan politis negara hanya merupakan norma-norma dasar konsepsional, yang masih memerlukan jabaran operasional melalui undang-undang. Untuk itu seyogyanya dalam memandang Sishankamrata, bukan hanya sekedar menjadikan sebuah nama yang tanpa makna. Artinya hanya disepakati pada tataran konsepsi kebijakan, namun tidak terwujud nyata pada tataran implementasi operasional. Atas dasar hal tersebut format penyelenggaraan pertahanan negara ke depan masih valid dan relevan menggunakan dan mewujudkan Sishankamrata yang juga harus didukung : (1) Adanya sistem politik yang berkemampuan menyeimbangkan konflik dengan konsesus, menjamin stabilitas nasional serta berkemampuan mengerahkan seluruh potensi dan kekuatan nasional untuk mendukung upaya pertahanan negara. (2) Adanya sistem ekonomi yang mampu mendayagunakan sumber daya nasional bagi kepentingan upaya pertahanan negara. (3) Adanya sistem sosial budaya yang mampu membangkitkan rasa cinta tanah air dan bela negara. (4) Adanya sistem Hankamneg yang berkemampuan mewujudkan daya dan kekuatan tangkal terhadap setiap ancaman dengan kekuatan dan potensi nasional yang tersedia. (5) Adanya sistem hukum nasional, sistem keamanan nasional dan Sishankamneg yang saling mendukung dan memperkuat dalam rangka mewujudkan Indonesia Merdeka. Oleh karenanya Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta hendaknya dilihat dari makna hakiki sebagai pengerahan totalitas kemampuan suatu bangsa ketika menghadapi ancaman terhadap kelangsungan hidupnya, dan diselenggarakan secara terpadu oleh segenap institusi fungsional. Paradima Baru TNI tersebut di atas telah dilaksanakan TNI dalam wujud implementasi reformasi internal. Langkah-langkah yang telah dilakukan TNI sebagai bagian dari reformasi internalnya adalah :

a. Sikap dan pandangan politik TNI tentang paradigma baru peran TNI Abad XXI.

b. Pemisahan Polri dan TNI.

c. Perubahan Staf Sospol menjadi Staf Teritorial.

d. Penghapusan kekaryaan TNI.

e. TNI tidak akan pernah lagi terlibat dalam politik praktis dan mengambil jarak yang sama dengan Parpol yang ada.

f. Komitmen dan konsistensi netralitas TNI dalam Pemilu.

g. Perubahan paradigma hubungan TNI dan keluarga besar TNI.

h. Berbagai doktrin TNI disesuai-kan era reformasi dan peran TNI Abad XXI.

TNI telah menempatkan diri sepakat dengan pendapat bangsa bahwa kita harus membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern, maju dan demokratis. Namun perubahan menuju kemajuan tersebut perlu kita lakukan secara bertahap sebanding dengan kesiapan masyarakat. Di samping itu kita tetap perlu wasapada bahwa di tengah suasana transisi perubahan, akan selalu ada kelompok kepentingan yang memanfaatkan keadaan untuk kepentingan sempitnya sekaligus merugikan kepentingan bangsa. TNI telah mereposisi dirinya sebagai bagian dari pemberdayaan bangsa guna siap menghadapi era globalisasi. Tantangan TNI saat ini adalah bagaimana menangkap dan mewujudkan dokrin, sistem dan tatanan yang berasal dari masa lalu guna dicari wujud pelakasanannya dalam format negara modern.

Juga perlu diingatkan bahwa penyelenggaraan pembinaa sumberdaya nasional untuk kepentingan pertahanan bukan hanya merupakan tanggung-jawab TNI saja namun merupakan fungsi pemerintahan yang diselenggarakan oleh segenap instansi fungsional secara terpadu. Kitapun masih perlu mewujudkan iklim hubugan sipil-militer yang sehat dan pada akhirnya efektivitas fungsi pertahanan dan keamanan negara akan terwujud bila terdapat ketergasan tataran kewenangan fungsi, dan Reformasi TNI dalam tatanan demokrasi, bukanlah dengan mendemokrasikan TNI tetapi dengan meningkatkan profesionalitas TNI di tengah tatanan demokrasi.

Sumber : http://www.harypr.com/

Facebook Twitter RSS